Tuesday, June 17, 2014

Menguji nyali di tapal Gattareng-Panggalungan


Inilah sekian babak perjalanan kami yang entah kapan akan berakhir.Jiwa petualang yang kental tak akan surut hanya dengan kondisi alam yang tak bersahabat.Iya seperti itulah penggambaran kali ini.Mencoba rute ekstrem,rute yang mungkin hanya dilalui satu atau dua orang saja dalam satu bulan.Rute dari desa Gattareng sebuah desa di kaki bukit melintas hutan tropis menuju dusun Panggalungan desa Bulo-Bulo Pujananting. Bermodal sebuah sepeda motor bebek sporty biasa tampa modifikasi ala motor adventur menjajaki tapal batas itu.Jalan pengerasan ketika meninggalkan Gattareng setelah jumatan masih terasa menyenangkan.Pemandangan kiri adalah perbukitan dengan aneka kebun warga.Sebelah kanan persawahan yang sementara dipanen kala itu.


Beberapa motor kami jumpai dari sawah mengangkut hasil panen.Sekitar 1 kilometer medan jalan mulai tak rata dengan banyaknya batu-batu sebesar kepala bayi yang tak beraturan.Harus ekstra hati-hati dalam memilih jalan,sedikit saja ban depan tergelincir maka kami akan terjatuh.
Selepas medan jalan berbatu adalah jalanan tanah yang berlumpur cukup membuat motor kerepotan untuk melaluinya.Apalagi kemudian turunan berliku membuat teman fotografer yang saya bonceng harus berpegangan erat menghindari jatuh.Sampai kemudian dia menyerah minta turun pada jalanan becek turunan berliku tajam.Hanya kicau burung dan bebatuan jadi saksi ketika dua orang tengah bergelut demi menumpahkan rasa penasaran menjelajahi setiap pelosok terpencil yang belum terlalu terekspos.Perjuangan belum berakhir ketika menapaki jalan yang sama sekali berlumpur dengan bebatuan padat.Tak ada tapak ban sama sekali kalau pemotor lain telah sampai di tempat itu dalam tenggang waktu akhir-akhir ini.Yang ada hanyalah tapak-tapak kaki sapi berseliweran.Beberapa kali ban depan motor tergelincir dan ban belakang hanya terus berputar-putar menyemprotkan lumpur ke udara tampa bisa bergerak maju.Akhirnya pemilik motor pun bergantian melayani si motor dengan menuntun dan mengangkatnya agar lepas dari jeratan lumpur.

Sempat ragu untuk meneruskan perjalanan dengan kondisi jalan apalagi ditambah di kejauhan suara gemuruh dan desiran air menandakan seperti ada sungai.Khawatir sungai tak bisa kami lalui maka perjalanan akan tamat dan pastinya harus balik kanan lagi dan itu artinya misi kali ini gagal.Ternyata setelah cek dan ricek maka desiran dan gemuruh air itu adalah air terjun yang bertingkat-tingkat mirip air terjun Kelo yang ada di dusun Lempang Gattareng.Namun yang di kelo lebih besar dan lebih banyak tingkatannya.Ditempat inilah kami rehat merenggangkan otot yang kelelahan berkutat di jalanan berbatu berlumpur. Suasana dan pemandangan tampak sejuk.Terasa asri berada di tengah pepohonan rimbun dengan suara gemuruh dan percik air mengalir dari bebatuan.Gemericik air mengalir menyusuri sela batuan besar kemudian mengalir merdu membuat aliran sungai kecil membelah jalanan.Mengabadikan moment ini sebagai bukti dan tanda mata untuk dikenang. Motor pun harus dibersihkan,semua bagian telah berlepotan lumpur terutama ban.Merasa cukup,perjalanan pun berlanjut.Kondisi jalan belum berubah.3 kilometer dilalui menjumpai jalanan tanah yang semuanya berlumpur dan tak ada pilihan lain maka motor pun harus terbenam untuk kesekian kalinya.Maka pengemudinya kembali dengan sekuat tenaga menuntunnya.Boncengan saya harus beberapa kali naik turun dan harus berjalan beberapa puluh meter.Pasalnya jalanan berlumpur ini tak ada habisnya.Tenaga terasa terkuras,perut mulai keroncongan.Mulai mencari kios penjual barang campuran ketika memasuki suatu kampung kecil yang rumahnya hanya tak seberapa itu.Tak salah namanya Buccu api atau benteng apie,entahlah aku melupakannya. Tak ada kios berarti tak ada makan siang menjelang sore menu mie siram.Ha..ha..ha.Masih sempat tertawa,ya sekarang tertawa tapi coba kawan bayangkan waktu itu,sampai lemasnya saya sampai harus membaringkan diri direrumputan dengan pakaian penuh noda lumpur.Dan indomie siram menjadi barang langka di kampung ini.Badan terasa gemetar.Syukurlah semangat kembali bangkit ketika mendapat info jalanan di depan sudah mendingan.Seorang penduduk yang sempat kami tanyai,apalagi hujan tidak turun dari kemarin katanya. Maka motor pun menderu dengan si fotografer sibuk berpegang dengan kamera besar di pundaknya.Jalan tanah pun kami susuri walaupun beberapa bagian masih becek namun setidaknya si fotografer masih betah di tempat duduknya tampa minta turun lagi.Tampak di kejauhan seng sekolah SD Panggalungan yang berada di atas bukit menandakan kami sudah dekat. Untuk sampai ke dusun Panggalungan tinggal penurunan terus tapi jalanan berbatu kecil licin dan berliku membuat sulit menjaga keseimbangan motor.Fotografer minta turun tampaknya khawatir jatuh.Kalaupun jatuh tak apa-apa hitung-hitung ada bekasnya dari sebuah jejak berpetualang.

Beruntunglah kami memasuki dusun kecil panggalungan ini dengan selamat.Tiba di sebuah jembatan yang sungainya mengalir jernih dengan bebatuan kali yang besar menyempatkan narsis sejenak dari Canon kamera terbaru sang fotografer.Meluncur kembali menuju Bulo-bulo mencari makan.Alhamdulillah sebuah kios kecil di tepi jalan menjadi tempat rehat.Maka 2 bungkus mie goreng di pesan per orang.Nyatanya yang keluar adalah mie yang berkuah.Pastinya si penjualnya menyangka bahwa namanya mie goreng mesti dikasih kuah.Ha..ha.ha.Tak apalah karna tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya dengan lahap.Apalagi penjualnya juga lugu amat,manis juga kalau diperhatikan.Menghabiskan 2 bungkus mie,sebotol minuman fanta,segelas kopi dan sepotong bakwan goreng kami pamit menuju kampung Allu.Menyempatkan sholat ashar di rumah siswa sebelum matahari tenggelam kami telah tiba di sekolah Smp 2 pujananting Jembulu.Perjalanan selama 7 jam menurut sang fotografer rute Jempulu-Punranga-Gattareng-Panggalungan-Bulo-Bulo-Allu-Mattiro deceng-Punranga-Jempulu.
Tunggu episode baru selanjutnya.
Next Dengen-Dengen di kaki bukit Marenong.

No comments:

Post a Comment